Rabu, 31 Maret 2021

Cerita Nyata Islami KEAJAIBAN SABAR KISAH NYATA PENGGUGAH JIWA

Cerita Nyata Islami KEAJAIBAN SABAR KISAH NYATA PENGGUGAH JIWA Ramadhan mulai menunjukan sayap sayap anggunnya. Tak ragu lagi fajar fajar penuh keberkahan itu telah menyingsing di kota Riyadh, masha Allah... ahlan ya Ramadhann.. pohon kurmapun seperti bahagia... mereka berbuah lagi, sebentar lagi ranum menyambut Ramadhan di kota ini. Alhamdulillah... Kota ini adalah lautan inspirasi bagiku. Dimana atas izin ALLAH pena ini mulai kugoreskan diawal 2010 lalu. Begitu banyak inspirasi yang melintasi kota dihatiku,.. Sebenarnya, tulisan saya ini adalah ungkapan terimakasih saja... Ungkapan bahagia atas kemerduan hidayah Nya, saat inspirasi demi inspirasi itu datang bertaburan menyentuh dan menggetarkan dinding hati yang berdebu ini. Hingga terlintas rasa ingin untuk mencatatnya, sekedar pelepas dahaga jiwa sesiapa saja yang dikehendaki Nya.. Selebihnya saya hanya hamba ALLAH biasa saja, cendrung lemah dan berubah-ubah. Semoga kebahagiaan yang kulukiskan dari sudut sudut di kota ini terpancar hingga ke seluruh kota di hatimu.. Menggetarkannya, melembutkan dan mengingatkanmu tentang kerinduan kepada sebuah tempat, sebuah kota yang pasti akan kita temui. Kota Akhirat yang Abadi!!! Kulantunkan segala Puji bagi ALLAH yang memiliki ribuan - atau jutaan, hingga angka angka tak terbatas - cerita dalam kenaggunan lukisan Hidayah NYA yang tersirat di Alam semesta ini. Ditengah gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan banyak kisah. Kota ini menyimpan rahasia rahasia yang hanya diperdengarkan kepada telinga telinga dan hati yang mendengar. Tentu sahaja, Hidayah adalah kehendak NYA dan Hidayah hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya. Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat Muslim Srilanka yang berkerja disini. Ia adalah chef (juru masak) yang bekerja di InterContinental Riyadh Hotel bersamaku. Sungguh cerita itu membuat mata saya berkabut. Air mata itu serasa ingin menetas lagi saat saya menulisnya kembali. Semoga menjadi perenungan dan tafaqur di Ramadhan ini. It's ammazing, sungguh saya merasakan pancaran energinya yang memperkokoh jiwa dan kesabaran. Entahlah darimana saya harus memulainya. Saya tidak ahli dalam bercerita, tapi ini adalah cerita nyata yang benar benar harus kalian dengar..!!! Harus kalian dengar tentang sebuah cerita nyata, keajaiban sabar... A TRUE STORY, THE MIRACLE OF SABAR.. Sahabat sahabat mulia yang dimuliakan Allah. Hidup diluar negeri itu memang berat, bisa jadi teramat berat jika kita tidak memiliki keahlian tertentu yang membuat diri kita memiliki 'nilai jual'. Bekerja diluar negeri itu keras. Apa lagi berada diantara kerasnya nuansa timur tengah! Jika masih ada pilihan lain, sebaiknya jangan mencoba menjatuhkan pilihan di negeri yang tak ramah ini. Negeri sendiri adalah tempat terbaik yang tidak akan pernah tergantikan. Teman saya, mengatakan "Di desa itu justru indah. Disana kita bisa menanam padi untuk makan, disana ada danau atau sungai dimana kita bisa mengambil ikan sebagai teman nasi, kalau kita butuh sayur juga tinggal tanam atau beli dengan harga murah.." Saya bergumam dalam hati, "Iya benar.." Di Indonesia masih bisa santai saat ac mati. Tapi di timur tengah? Kulit pasti tak akan tahan, suhu udara rata rata kadang hingga 50 derajat celcius.. Negeri ini adalah hamparan gurun tandus. Badai debu bisa datang kapan saja menyelimuti kota, menyesakan nafas nafas dan memperpendek jarak pandang. Disini beda dengan suasana di Ciwalk - Bandung. Setiap sore hingga malam seru dengan pejalan kaki santai. Si akang tukang cireng laris dikerumuni remaja atau mahasiswa hingga larut malam. Tapi di Timur tengah? Disini tak ada pedagang asongan, jangan harap bisa menemukan warteg dengan paket nasi goreng plus teh botol.. Disini hampir tidak terlihat pejalan kaki. Disini tidak ada mikrolet atau angkot kuning jurusan setiabudi - cicaheum. Disini hanya ada taksi, dan tak ada cerita jalan kaki. Kehidupan jalan tak ramah. Gedung-gedung berdiri garang dan angkuh. Kota ini tidak ramah. Tak ada celah bagi yang belum siap berjuang dengan segala keahlian untuk menaklukannya. Tapi meski demikian... Banyak para pekerja yang datang ke negeri ini. Di hotel tempat saya bekerja saja ada sekitar 700 orang dari 17 Negara berbeda.. Saya mengenal banyak dari mereka. Ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri. Ada beberapa dari mereka dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika. Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan, Afrika. Saya mengenalnya dengan nama Ammar Musthafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga bekerja di Hotel ini. Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja. Biasanya saya melihat ia bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek renovasi hotel di tengah terik matahari kota riyadh yang membakar kulit. Hari itu Ammar tidak terlihat. Karena penasaran, saya coba tanya kepada Iqbal tentang kabarnya. Iqbal adalah teman saya, seorang Muslim dari Srilanka. "Oh kamu tidak tahu?" jawab Iqbal balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas India yang bercampur dengan prononsiasi urdhu yang pekat. "Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola ya?" Jawab saya. Selepas itu, tanpa saya duga, Ikbal mulai bercerita panjang lebar tentang Ammar. Ia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti berusaha memanggil kembali sosok teman yang beberapa waktu tinggal menumpang dikamar apartemennya. Saya mendengarkannya dengan seksama. Ternyata Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2004. Ia datang ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di Kota ini. Saudi arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal punya Pasport dan tiket. Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat. Do'a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman-temannya. Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan untuk keluarganya di Sudan. Ia tetap mencari celah dan kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan. Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat...Bulan ketiga hingga tahun-tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir. Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan suasana Kota yang garang. Amar tetap bertahan dalam kesabaran. Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan buah buah atau seteguk air dari sungai.. Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing. Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia. Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali dalam setahun.. Amar seperti terjerat di belantara Kota ini. Pulang ke Sudan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu tekadnya. Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya. Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan dahaga untuk raganya disini. Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan haus dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan. Tapi Ammar pun Manusia. Ditahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, lima tahun sudah ia berpindah pindah kerja dan numpang di teman temannya. Tapi kehidupannya tidak kunjung berubah. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Sudan. Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya. Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang. Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman-teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik Ammar memahaminya, ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan. Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana saja. Ia pergi ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini sulit didapat karena imbas konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja. Ammar pun beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya. Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih minggu depan. Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya. Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu. Adzan dzuhur bergema... Semua Toko-toko, Supermarket, Bank, dan Kantor Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga jaga di luar kantor-kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah selesai. Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh. Ia mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu.. memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air. Lalu ia masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Lalu ia duduk menunggu mutawwamemulai shalat berjamaah. Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan. Ia merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan ditiap menit dalam sujudnya. Disanalah ia biasanya mengadu kepada kekasihnya... Pemilik Alam Semesta. Ia mewarnai setiap sujudnya dengan isakan ketulusan, menghambakan dirinya kepada Allah azza wajala.. Shalat telah selesai. Ammar masih bingung untuk memulai langkah. Penerbangan masih seminggu lagi. Ditangannya hanya ada selembar tiket. Sakunya telah kering dari minggu lalu. Semua uang yang ia dapati dari hasil kerjanya satu bulan terakhir dikirim kerumah untuk makan anak anak dan istrinya. Ia terdiam. Dilihatnya beberapa mushaf al Qur'an yang tersimpan rapi di pilar pilar mesjid yang kokoh itu. Ia mengambil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan menikmati al Qur'an hingga adzan Ashar tiba menyapanya. Selepas Maghrib ia masih disana. Beberapa hari berikutnya, ia memutuskan untuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba. Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya. Seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu. Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa-jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa. Adzannya memang khas. Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana. Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh. Hingga jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya. Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota. Amar sudah duduk diruang tunggu dibandara. Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, 15 menit sudah berlalu dari jadwal ia terbang. Kecemasan mulai meliputinya.